Senin, 09 Mei 2016

Harga Sebuah Kecerdasan

0 komentar
Ketika seorang anak SMU atau yang sederajat telah dinyatakan lulus, maka sebahagian besar dari mereka  akan mempunyai impian agar dapat diterima dibangku Universitas Negeri dimana mereka dapat mengenyam sebuah pendidikan yang berbeda dari yang biasa mereka dapatkan selama beberapa tahun.
Terpancar dari mereka sebuah kesenangan atau malah sebuah kebanggaan semu akan indahnya sebuah keidupan yang penuh dengan dinamika dan retorika-retorika yang mampu menggoyang rezim sang penguasa. Terbayang di benak mereka sebuah diskusi dipojok-pojok ruanga ditemani dengan segelas kopi yang dikeroyok oleh beberapa orang. Belumlagi pikiran-pikiran romantis yang telah banyak mereka dengar dari kakak mereka, sebagai selingan dikala sedang mengikuti rapat-rapat atau pertemuan pertemuan yang diadakan oleh lembaga kemahasiswaan. Ataupun juga pikiran tenang interaksi antara dosen dan mahasiswa dalam membahas suatu persoalan tang didapat.
Bagitu mereka yang doa dan impiannya terwujud, maka dengan semangat yang menyala-nyala mengurus segala sesuatu yang diperlukan. Setelah itu mereka mealui sebuah prosesi penerimaan mahasiswa baru yang melibatkan mahasiswa yang lebih dahulu menginjakkan kaki di universitas ketimbang mereka. Rasa kagum nampak dari wajah mereka yang lugu sebagai mahassiwa baru. Perasaan bangga tergambar dari cara mereka meneriakkan slogan-slogan kebesaran fakultas atau universitas yang disuruhkan oleh senior mereka. Seluruh rangkain penerimaan mahasiswa baru mereka lalui dengan kesungguhan.
Tetapi kebangga itu tidak berumur panjang. Selang beberapa bulan kemudian, dimana mereka telah banyak melihat, mendengar dan merasakan sana sini tentang kondisi yang mereka dapatkan nanti, maka mereka mulai kehilangan orientasi. Dan akhirnya, prestasi belajar mereka mampu bertahan sampai tiga atau empat semester. Ada apa disini?
1.    Penyempitan Pemikiran
Seorang dosen, ketika membuka oertemuannya dngan mahasiswa akan memberi gambaran serta beberapa buku yang wajib di baca oleh mahasiswa. Bahkan dalam perkuliahan selanjutnya pun sang dosen memberikan materi yang mau tak mau harus diucata oleh mahasiswa. Karena tekun dan mempunyai daya analisis yang baik, maka maasiswa tidak ragu ketika akan menghadapi ujian. Semua pertanyaan dijawab dengan baik. Rasa keyakinannpun muncul bahwa ia akan memeperoleh nialai yang memuaskan dirinya. Tetapi ketika ia melihat penguuman nilai, ternyata nilai yang ia peroleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Disini ternyata telah terjadi proses doktrinisasi. Apa yang diucapkan oleh dosen, maka itulah yang harus dihapal.
Seorang mahasiswa akan menjadi malas membaca buku dan menganalisis sesuatu permasalahan, karena ini ternyata tidak memberika jaminan bahwa nilainya akan memuaskan. Sehingga yang tercipta adalah kebiasaan menghapal catatan yang berasal dari dosen. Atau dengan jalan pintas, membawa catatan kecil keda;lam ruangan yang akan dijadikan senjata andalan untuk menghadapi soal-soal yang terkadang sampai puluhan nomor.
2.      Mutu Tenaga Pengajar yang Rendah
Setelah mahasiswa mengalami penyempitan pemikiran, mereka kembali diperhadapkan dengan tenaga-tenaga pengajar yang mutunya betul-betul memperihatinkan. Terkadang seorang dosen tidakmemperhatikan gaya bahasa yang menarik perhatian mahasiswa atau metode dalam dalam menyampaikan suatu informasi kepadsa mahasiswa ternyata tidak tepat.dosen sering kali menyamaratakan antara kuliah saat pagi hari dengan kuliah siang hari atau sore hari. 
3.    Tidak adanya Transparansi
Terkadanng seorang mahasiswa menguasai dan menghapal seluruh bahan kuliah yang diberikan oleh dosen untuk persiapan ujian. Mahasiswa ini juga adalah mahasiswa yang tergolong sebagai mahasiswa yang rajin, baik menghadiri kliah maupun dalam hal mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen kepadanya. Ketika ujian berlangsung, semua soal ia kerjakan dengan baik tanpa cela . Tetapi ketika pengumuman, ternyata dia dinyatakan tidak lulus. Sebaliknya ada  mahasiswa yang sangat berlawanan dengan ciri-cirinya dengan mahasiswa di atas, justrumeluakan kegembiraannya karena lulus dengan nilai yang baik.
Sebuah tanda tanya besar menghadang. Bagaimana kriteria dpsen dalam menilai ? mengapa tidak pernah ada transparansi dari dosen sehingga mahasiswa dapat melihat dimana kekurangannya ? dan mengapa dosen seperti ini tidak dapat dituntut?
4.    Semester Pendek
Ternyata ketidak lulusan tidak membuat mahasiswa berputus asa , karena masih ada mahluk yang bernama semester pendek yang hadir setiap tahun diakhir semester genap.  Dengan membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku (katanya!!) maka mahasiswa dapat memperbaiki nilainya dengan mengambil mata kuliah yang tidak lulus. Tapi pihak universitas lupa-lupa bahwa tidak semua mahasiswa tergolong dalam keluarga mampu, apalagi disaat “lapar” sekarang ini. Jangankan untuk membayar SPP dan semester pendek , untuk kebuthan hidup sehari-hari saja sudah sabgat payah

Entah disengaja atau tidak, keempat faktor diatas sepertinya tersusun dengan sangat tersrukturdan terencana. Tapi apakah ada rencana besar di balik itu? 

Penulis: Romi Librayanto

0 komentar:

Posting Komentar

 
Tholibul Ilmi © 2020