Ketika seorang anak SMU atau yang sederajat telah
dinyatakan lulus, maka sebahagian besar dari mereka akan mempunyai impian agar dapat diterima
dibangku Universitas Negeri dimana mereka dapat mengenyam sebuah pendidikan
yang berbeda dari yang biasa mereka dapatkan selama beberapa tahun.
Terpancar dari mereka sebuah kesenangan atau malah sebuah
kebanggaan semu akan indahnya sebuah keidupan yang penuh dengan dinamika dan
retorika-retorika yang mampu menggoyang rezim sang penguasa. Terbayang di benak
mereka sebuah diskusi dipojok-pojok ruanga ditemani dengan segelas kopi yang
dikeroyok oleh beberapa orang. Belumlagi pikiran-pikiran romantis yang telah
banyak mereka dengar dari kakak mereka, sebagai selingan dikala sedang
mengikuti rapat-rapat atau pertemuan pertemuan yang diadakan oleh lembaga
kemahasiswaan. Ataupun juga pikiran tenang interaksi antara dosen dan mahasiswa
dalam membahas suatu persoalan tang didapat.
Bagitu mereka yang doa dan impiannya terwujud, maka dengan
semangat yang menyala-nyala mengurus segala sesuatu yang diperlukan. Setelah
itu mereka mealui sebuah prosesi penerimaan mahasiswa baru yang melibatkan
mahasiswa yang lebih dahulu menginjakkan kaki di universitas ketimbang mereka.
Rasa kagum nampak dari wajah mereka yang lugu sebagai mahassiwa baru. Perasaan
bangga tergambar dari cara mereka meneriakkan slogan-slogan kebesaran fakultas
atau universitas yang disuruhkan oleh senior mereka. Seluruh rangkain
penerimaan mahasiswa baru mereka lalui dengan kesungguhan.
Tetapi kebangga itu tidak berumur panjang. Selang beberapa
bulan kemudian, dimana mereka telah banyak melihat, mendengar dan merasakan sana sini tentang kondisi
yang mereka dapatkan nanti, maka mereka mulai kehilangan orientasi. Dan akhirnya,
prestasi belajar mereka mampu bertahan sampai tiga atau empat semester. Ada apa disini?
1.
Penyempitan Pemikiran
Seorang dosen, ketika membuka oertemuannya dngan mahasiswa
akan memberi gambaran serta beberapa buku yang wajib di baca oleh mahasiswa.
Bahkan dalam perkuliahan selanjutnya pun sang dosen memberikan materi yang mau
tak mau harus diucata oleh mahasiswa. Karena tekun dan mempunyai daya analisis
yang baik, maka maasiswa tidak ragu ketika akan menghadapi ujian. Semua
pertanyaan dijawab dengan baik. Rasa keyakinannpun muncul bahwa ia akan
memeperoleh nialai yang memuaskan dirinya. Tetapi ketika ia melihat penguuman
nilai, ternyata nilai yang ia peroleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Disini ternyata telah terjadi proses doktrinisasi. Apa yang diucapkan oleh
dosen, maka itulah yang harus dihapal.
Seorang mahasiswa akan menjadi malas membaca buku dan
menganalisis sesuatu permasalahan, karena ini ternyata tidak memberika jaminan
bahwa nilainya akan memuaskan. Sehingga yang tercipta adalah kebiasaan
menghapal catatan yang berasal dari dosen. Atau dengan jalan pintas, membawa
catatan kecil keda;lam ruangan yang akan dijadikan senjata andalan untuk
menghadapi soal-soal yang terkadang sampai puluhan nomor.
2. Mutu Tenaga Pengajar yang Rendah
Setelah mahasiswa mengalami penyempitan pemikiran, mereka
kembali diperhadapkan dengan tenaga-tenaga pengajar yang mutunya betul-betul
memperihatinkan. Terkadang seorang dosen tidakmemperhatikan gaya bahasa yang menarik perhatian mahasiswa
atau metode dalam dalam menyampaikan suatu informasi kepadsa mahasiswa ternyata
tidak tepat.dosen sering kali menyamaratakan antara kuliah saat pagi hari
dengan kuliah siang hari atau sore hari.
3.
Tidak adanya Transparansi
Terkadanng seorang mahasiswa menguasai dan menghapal seluruh
bahan kuliah yang diberikan oleh dosen untuk persiapan ujian. Mahasiswa ini
juga adalah mahasiswa yang tergolong sebagai mahasiswa yang rajin, baik
menghadiri kliah maupun dalam hal mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh
dosen kepadanya. Ketika ujian berlangsung, semua soal ia kerjakan dengan baik
tanpa cela . Tetapi ketika pengumuman, ternyata dia dinyatakan tidak lulus.
Sebaliknya ada mahasiswa yang sangat
berlawanan dengan ciri-cirinya dengan mahasiswa di atas, justrumeluakan
kegembiraannya karena lulus dengan nilai yang baik.
Sebuah tanda tanya besar menghadang. Bagaimana kriteria
dpsen dalam menilai ? mengapa tidak pernah ada transparansi dari dosen sehingga
mahasiswa dapat melihat dimana kekurangannya ? dan mengapa dosen seperti ini
tidak dapat dituntut?
4.
Semester Pendek
Ternyata ketidak lulusan tidak membuat mahasiswa berputus
asa , karena masih ada mahluk yang bernama semester pendek yang hadir setiap
tahun diakhir semester genap. Dengan
membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku (katanya!!) maka mahasiswa dapat
memperbaiki nilainya dengan mengambil mata kuliah yang tidak lulus. Tapi pihak
universitas lupa-lupa bahwa tidak semua mahasiswa tergolong dalam keluarga
mampu, apalagi disaat “lapar” sekarang ini. Jangankan untuk membayar SPP dan semester
pendek , untuk kebuthan hidup sehari-hari saja sudah sabgat payah
Entah disengaja atau tidak, keempat faktor diatas
sepertinya tersusun dengan sangat tersrukturdan terencana. Tapi apakah ada
rencana besar di balik itu?
Penulis: Romi Librayanto
Penulis: Romi Librayanto
0 komentar:
Posting Komentar